Jayapura, Jubi – Lima bahasa daerah dari 276 bahasa daerah di Papua telah hilang dari penuturan atau punah. Lima bahasa yang punah itu bahasa Saponi di Waropen, Bahasa Dusner dan Tandia di teluk Wondama, Bahasa Fitjin Lha di Kiamana, dan Bahasa Nambla di Senggi (Keerom).
“Bukan dua bahasa yang punah tetapi lima bahasa. Ini berarti tinggal
271 suku bahasa dari suku-suku bangsa Papua,” kata Handro Yonathan
Lekitoo, kandidat doktor Antropologi di Universitas Indonesia kepada
Jubi, Jumat (19/6/2015), mengomentari pemberitaan Jubi, Selasa (16/6)
tentang dua bahasa Papua, bahasa Saponi dan Mapia dari 14 Bahasa daerah
di Indonesia yang punah.
Kata pria dosen antropologi Universitas Cendrawasih (UNCEN) ini, 271
bahasa-bahasa Papua yang tersisa pun terancam punah. Bahasa-bahasa itu
terancam karena sebagian kosa katanya sudah tidak ada lagi dalam
penuturan. Jumlah yang terancam punah itu mencapai angka 30 an bahasa
daerah.
“Kita tidak perlu jauh-jauh. Masyarakat Kayu Batu dan Kayu Pulau di
kota Jayapura itu saja sudah tidak tahu angka dalam bahasa mereka. Dalam
bahasa asli, mereka bisa hitung sampai 24 tetapi sekarang mereka hanya
bisa sebut sampai angka 6,” katanya.
Lekitoo mengatakan ada sejumlah penyebab utama bahasa-bahasa daerah
Papua hilang dan terancam punah. Penyebab pertama, jarang mengunakan
bahasa daerah akibat perkawinan campur. “Orang-orang yang kawin beda
suku dan bahasa menyebabkan jarang mengunakan bahasa daerah dalam
komunikasi,” ungkapnya.
Orang jarang mengunakan bahasa daerah juga akibat perbedaan bahasa.
Perbedaan bahasa yang ada mendorong semua orang di Papua mengunakan
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan dalam rangka membangun
nasionalisme tetapi tidak memperhitungkan kebangsaan Indonesia itu
terdiri dari keragaman suku dan bangsa.
Penyebab kedua, menurut penulis buku ‘Potret Manusia Pohon’ ini,
migrasi penduduk dalam jumlah besar. Kaum mayoritas penduduk mendatanggi
kampung tertentu sangat mempegaruhi. Kaum mayoritas mendominasi
komunikasi hari-hari sehingga kelompok minoritas ikut larut mengunakan
bahasa mayoritas. “Lihat wilayah trans di Papua. Orang Papua pintas
bicara bahasa Jawa tetapi tidak tahu bahasa daerahnya,” katanya
mencontohkan salah satu daerah trans di Merauke.
Penyebab ketiga, perkembangan teknologi yang datang ke Papua.
Teknologi ini sudah mempunyai bahasa komunikasi. Orang-orang Papua yang
mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi lupa lagi mengunakan
bahasa mereka. “Orang tidak melihat bahasa daerah sebagai indentitas
yang membangakan. Baik kalau orang komunikasi lewat teknologi dengan
bahasa daerah”.
Menurut Lekitoo, kalau orang sudah tidak merasa bahasa sebagai
identitas, dengan sendirinya bahasa dilupakan. Orang tidak lagi memiliki
identitas dirinya sebagai orang Papua. Bangsa Papua terancam punah.
“Bahasa menunjukkan bangsa. Tidak ada bahasa berarti tidak ada
bangsa,”tegasnya.
Kata Lekitto, ancaman ini sangat serius. Karena itu, pemerintah
daerah harus serius melihat, punahnya bahasa sama dengan kepunahan suatu
bangsa. UU otonomi khusus harus menjadi hokum yang bisa membuat
kebijakan untuk melindunggi orang Papua. Pemerintah harus membuat
kurikulum yang mengajarkan bahasa daerah.
“Kalau sekolah ada di Nafri, anak-anak harus belajar bahasa nafri si
sekolah. Sekolah di Joka, anak-anak harus belajar dalam bahasa Yoka.
Saya pikir ini satu tanggung jawab pemerintah yang harus pemerintah
wujudkan,” harapnya.
Engelbertus Surabut, ketua Dewan Adat Wilayah Lapago mengatakan
punahnya bahasa makin nyata kepunahan orang Papua. Orang Papua makin
jelas masa depanya seperti apa tanpa bahasa daerah. “Cerita-cerita
peradaban hidup orang Papua akan hilang. Hilang sudah masa depan Papua
maka perlu kesadaran orang Papua mengunakan bahasa daerah”. (Mawel Benny
Sumber :http://tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar