728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 27 Juli 2016

OLGA HAMADI, PEREMPUAN PEMBERANI DARI TELUK YOUTEFA

Olga Helena Hamadi (Jubi/DAM)
Jayapura, 6/12 (Jubi)— Saat menggeluti masalah hak asasi manusia, selalu berusaha untuk  mencari tahu dan menyelesaikan masalah-masalah terutama yang menimpah  masyarakat kecil.  Olga juga memegang teguh pada ayat-ayat yang dikutip dari Alkitab, kitab suci umat kristen. Maklum mendiang ayahnya Yohanes Hamadi adalah seorang pendeta. Bahkan ayah kandungnya sendiri memberi dukungan dan dorongan baginya untuk belajar hukum demi membela masyarakat yang terpinggirkan.
Olga Helena Hamadi adalah sosok perempuan pemberani. Ia selalu berusaha mencari tahu alasan penyebab peristiwa yang menimpa masyarakat kecil. Sore itu, wajahnya ceriah. “Selamat sore. Silahkan masuk,” sapa perempuan asal Kampung Tobati, Kota Jayapura ini sembari sembari mempersilahkan tabloidjubi.com masuk ke ruang kerjanya.
Sambil duduk di dalam ruang tamu di teras kantor ia menyodorkan segelas kemasan sambil  mempersilahkan minum.  Olga begitulah nama panggilan sehari-hari baik di kantor maupun di rumah. Kini dia menjabat sebagai direktris pada lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  atau lebih populer dengan sebutan Kontras- Papua di Jayapura.
Tawa kecil melebar mengawali perbicangan.  Olga mulai mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil, sekolah, kuliah hingga akhirnya menjadi pengacara. “Sejak kecil, saya punya cita-cita jadi pengacara. Kalau jadi pengacara, saya bisa menolong banyak orang,” katanya. Keinginan menjadi pengacara makin kuat ketika mendapat dukungan dari sang bapak, pendeta Yohanes Hamadi (alamarhum). Sang ayah, Yohanes selalu mengatakan jika berhasil menjadi pengacara tentunya sangat bagus untuk menolong sesamu manusia.
“Bapak sering mengatakan kepada saya kalau jadi pegacara itu bagus, bisa menolong orang yang susah,” tutur Olga sembari mengingat kembali kata-kata mendiang ayahnya. Kala itu, Olga bersama keluarga tinggal di Argapura, Jayapura.Cerita terus berlanjut. Dia menuturkan mengawali pendidikannya  di sekolah Taman Kanak-kanak (TK)  Kuntum Mekar Argapura, Kota Jayapura. Setelah TK menamatkan pendidikan 1988 melanjutkan sekolahnya di Sekolah Dasar (SD) Negeri Entrop.
Dorongan dan dukungan orang tua terus memberikakan motivasi hingga menyelesikan pendidikan SD Negeri Entrop,1994. Olga melangkah ke  jenjang pendidikan  di SMP YPK Kota Raja Dalam. Karena bercita-cita jadi pengacara dan kuliah di Fakultas Hukum, setamat SMP pada 1997, memilih lanjut ke  SMA Negeri 1 Abepura.
Memasuki  tahun 2000 menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA hingga melapangkan jalannya berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Cendrawasih (Uncen) Jayapura. Tahun 2000 merupakan panasnya suhu politik di Papua terutama jelang penetapan UU Otsus Papua hingga tewasnya Theys Hiyo Elluay.“Saya masuk kuliah tahun  2000, dan selesai tahun 2004,” ujarnya. Sesudah kuliah, ia nekad mewujudkan impian menjadi pengacara.
Sejak duduk di bangku SMA, sempat  terlintas dibenaknya ingin menjadi  pendeta.  Mungkin pengaruh sang bapak. “Waktu saya SMA, saya sempat berpikir untuk masuk sekolah Alkitab, mungkin karena pengaruh dari bapak pendeta,”katanya sumringah.
Namun, keinginan menjadi pendeta tak bertahan lama.  Setelah SMA, cita-cita menjadi pendeta, lenyap. Pengacara yang di dambakan sejak kecil kembali mengganggu pikiran-nya. Setelah menyelesaikan kuliah di Uncen  pada tahun 2004, masa depannya mujur. Dia mulai bekerja di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua pada  2005. Sejak di LBH, ia ditempatkan di Divisi Sipil dan Politik. Melalui divisi itu, Olga mulai menerapkan ilmu yang didapat semasa kuliah lewat kerja-kerja advokasi dan sosialisasi hukum di kampung-kampung.
Kerja-kerja ini membuat ia belajar menganalisa masalah dan berani mengajukan pendapat, berdebat serta berani berargumen.  Dia juga belajar tentang bagaimana mempertahankan sesuatu yang benar dan adil lewat pendampingan terhadap korban secara hukum. Pemisahan kasus sesuai aturan hukum, baik secara pidana maupun perdata juga didalami dari pekerjaan tersebut. “Saya merasa seperti digembleng di LBH. Banyak pelajaran yang saya dapat  disana,” katanya.
Sejak di LBH, banyak kisah, suka duka dan senang, dilalui dengan mulus tanpa hambatan sama sekali. Ingatan perempuan ini terhadap sejumlah kasus yang pernah ditangani dan dialami, masih kuat.  Salah satu diantaranya,  kasus 16 Maret 2005, peristiwa demo berbuntuk kekerasan di Gapura Uncen Abepura.
Perempuan berlesung pipi ini mengaku, dalam kasus itu, ia tahu penangkapan, kekerasan dan penyiksaan terhadap mahasiswa, masyarakat, jurnalis  dan salah satu rekan kerjanya, sejak itu. Benar-benar ingatannya kuat, kata-kata dan tindakan Brimob setelah kejadian pun masih dingat. Kata dia, sehari setelah kejadian, Brimob  melakukan“show force” menembak ke atas.
Sambil mengingat peristiwa itu, saat aparat berseragam ‘abu-abu’ ini melewati Kantor LBH, mereka sempat mengeluarkan kata-kata kotor dan menantang.  Meski demikian, perempuan lajang  asal KampungTobati ini tak pantang mundur.  Sebaliknya, memacu dia untuk mengejar cita-cita yang didambakan sejak kecil.
Perempuan yang selalu serius saat berbicara ini, tak henti-henti menceritakan kisahnya sejak kerja. Dia mengaku, kerja di kantor Lembaga Bantuan Hukum asyik dan menantang. “Saya tak bertahan lama kerja di LBH,”katanya. Sembari menambahkan, terpaksa harus hengkang pada 2009 ke Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua.
Ia menambahkan, pindah kerja karena persoalan sepeleh menyangkut privasi. Meski hengkang,  tapi cita-cita pengacara masih melekat di lubuk hati.  Memilih bekerja di KontraS, karena termotivasi  ingin menolong orang banyak. Perempuan berprinsip tidak mengejar gaji tinggi dan jabatan ini mengaku, mengawali kerja di kantor barunya sebagai kepala operasional. Sebagai kepala operasional, harus mengorganisir kerja rekan-rekan jaringan di KontraS, khususnya di Papua.
Tak lama menggeluti pekerjaan itu, pada 2011, perempuan berkulit hitam manis ini dipercayakan menjabat Kordinator KontraS Papua. Sampai sekarang, jabatan itu masih melekat. Sejak menjabat koordinator, ia mulai terlibat dalam tim pengacara HAM, untuk mendampingi korban kekerasan negara khususnya di wilayah tertimur ini.
Berbekal pengalaman di LBH, sejumlah kasus ‘makar’ bisa ditangani dalam tim pengacara. Diantaranya, kasus makar Nabire, penyerangan Mapolsek Abepura dan kasus Kapeso tahun 2009, kasus aktivis Komite Nasional Papua Barat, kasus Kongres Rakyat Papua  III tahun 2011, dan kasus makar Sarmi pada  2013.
Perempuan suka senyum ini mengaku, walau sudah menjabat koordinator  KontraS, tapi masih belum rela menghilangkan ingatan kerja pertamanya di LBH. Dia mengaku bisa menduduki jabatan baru di KontraS dan bisa menangani sejumlah kasus karena berbekal pengalaman pertama di Kantor LBH. “Saya menjadi seperti sekarang karena LBH. Saya tidak akan pernah melupakan LBH. Kantor itu  selalu ada di hatiku,” katanya sembari mengenang kembali masa-masa kerja disana.
Meski dalam cerita, masih ada ingatan kerja di LBH mengganggu kepalanya, tapi tak mematahkan semangat menceritakan  pekerjaan barunya dalam tim pengacara. Olga terus melanjutkan cerita tim. Ternyata, karier pengacara  tidak semudah membalik telapak tangan. Ada sedikit perlawanan terhadap negara. Melawan negara bukan berarti melanggar aturan tapi lewat tuntutan keadilan. Bagi dia, pekerjaan pendampingan terhadap tersangka makar menuntut keadilan cukup berat.
Pekerjaan pengacara harus profesional. Resikonya berat. Ada stigma separatis, mendapat ancaman,dan intimidasi dari aparat yudisial, serta kepolisian, militer dan intelejen. “Kasus praperadilan Kapolres Jayawijaya  yang saya dampinggi,  saya dinitimidasi dan diancam untuk dibunuh, sehingga saya cabut praperadilanya,” kata Olga mengingat kembali ancaman yang menimpah dirinya sejak  2012.  Meskipun kondisi tertekan, tapi Helena tak pernah pantang mundur.  Ia nekad maju melawan ketidak adilan.  Bahkan, meminta negara  menghentikan kekerasan. Hak untuk hidup harus dihormati. Negara harus menerapkan hukum yang sebenarnya.
Perempuan kelahiran Jayapura, 26 Oktober 1982 ini tak bosan-bosan menceritakan pendampingannya terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Cerita terus berlanjut walau hari semakin sore. Ia mengaku, kecewa berat kala pendampingan,namun  ada intervensi kekuasaan politik yang membuat hak korban tidak terpenuhi. “Rasanya tidak mampu,  saya kecewa sekali kalau seperti itu,” ungkapnya. Kekecawaan menjadi motivasi tersendiri bagi dia. Kecewaan muncul  bukan karena tidak berhasil membantu orang melainkan lebih pada sistem hukum sangat buruk; tidak  benar serta tidak ditegakkan. “Persoalannya bukan aturan melainkan penegakan hukumnya yang lemah, komitmen dan profesionalisme Aparat Penegak Hukum, keberanian dan transparasi menegakkan hukum belum berjalan dengan baik,” tutur dia.
Berkat kerja keras, akhirnya, cita-cita pengacara anak ke lima dari tujuh bersaudara ini terwujud. Tekanan dan tantatangan yang dihadapi membawanya mendapat pengakuan internasional. Olga mendapat pengakuan khusus ‘Lawayers for Lawyer Award’ untuk pengacara HAM di Amsterdam, Belanda pada Mei 2013.  Penghargaan adalah pengakuan terhadap dedikasi, kerja-kerja professionalismenya pegacara Hak Asasi Manusia di Papua. Olga mengaku tidak pernah membayangkan ada penghargaan. Menurutnya, kerja membantu orang sudah lebih dari  penghagaan. “Bagi saya cukup saja saya bekerja. Soal penghargaan itu tidak terlalu penting,”katanya. Diujung kisah, Olga mengku hanya kekuatan injil (Alkitab) yang membuat dia kuat mendampingi para korban pelanggaran HAM di Papua sampai saat ini. Ia juga mendapat dukungan dari keluarga.(Jubi/Benny Mawel)
OLGA HAMADI, PEREMPUAN PEMBERANI DARI TELUK YOUTEFA
  • Title : OLGA HAMADI, PEREMPUAN PEMBERANI DARI TELUK YOUTEFA
  • Posted by :
  • Date : 20.16
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Top