Uskup Keuskupan Timika,
Mgr. John Philip Saklil, Pr. (Foto: Ist)
Mgr. John Philip Saklil, Pr. (Foto: Ist)
Uskup
Keuskupan Timika ini mengatakan ini pasca penembakan dua warga sipil di
Timika oleh oknum TNI, juga menanggapi rangkaian kekerasan yang terus
terjadi di atas tanah Papua ini, dimana pelaku kejatahannya didominasi
aparat keamanan negara Indonesia.
"Pihak yang menjadi biang
kedok kenajisan adalah para aparat keamanan. Karena itu, pendekatan
aparat pemerintah keliru dan sengaja membiarkan bahkan membebaskan
terjadi kenajisan itu bertumbuh di mana-mana. Sehingga, tindakan konflik
dan kekerasan, pembunuhan, kerusahan lingkungan dan hutan Papua, dan
minuman keras (Miras) bertumbuh di mana-mana. Baik dari tingkat produser
miras, pengedar miras, dan sampai konsumen miras bebas melakukan apa
saja menurut maunya," terang Uskup Saklil.
Pemilik nama adat Gaiyabi
dari bahasa suku Mee ini menegaskan, banyak peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dan juga peraturan adat supaya manusia bebas dari penyebab
kematian, baik secara langsung maupun tak langsung.
Namun, lanjutnya,
peraturan apapun dibuat sangat tergantung pada manusia dan perilakunya,
sebab justru tidak menjalankan atas keputusan tersebut.
Manusia disebut menajiskan kalau manusia tidak menjalankan, melindunginya dan menegakkan peraturan tersebut.
"Sudah tahu alkohol dan
narkoba menyebabkan kematian, mengapa manusia membebaskan dirinya dan
diizinkan menjadi pengguna, pengedar, dan produser alkohol dan narkoba
yang menyebabkan kematian. Untuk itu, baik manusia maupun lembaga
disebut menajiskan," ucapnya.
Lanjutnya mengkritik
kebijakan pemerintah dan negara yang tidak memihak rakyat Papua pemilik
SDA yang semakin hancur di atas kekayaan alamnya, pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya dicap lembaga-lembaga najis.
"Sudah tahu kehancuran
tanah, hutan, dan air menyebabkan kematian manusia dan makhluk alam,
mengapa manusia bebas dan diijinkan merusak dan mencemarkan alam.Sudah
tahu peperangan dan konflik atau segala bentuk kekerasan menyebabkan
kematian. Mengapa manusia bebas dan dibiarkan saling membantai sebagai
cara untuk menuntut hak dan kewajiban. Untuk itu, baik manusia maupun
lembaga disebut menajiskan," tukasnya.
Ia juga menyatakan,
pihak-pihak yang membiarkan orang Papua yang mayoritas masuk golongan
masyarakat kecil, miskin, tertindas, terisolir, kurang pendidikan, tidak
mampu dan tidak berdaya melindungi hidupnya menderita di atas tanah
airnya adalah najis.
"Mengapa dibiarkan
menderita, tertindas dan mati dengan stigma salah sendiri. Untuk itu,
baik manusia maupun lembaga disebut menajiskan," ungkapnya.
Uskup Saklil melanjutkan,
di atas negeri ini sudah sering terjadi tindakan-tindakan yang
menajiskan sehingga terkesan kita menganut budaya najis.
"Segala bentuk kenajisan
selalu melahirkan kekerasan dan pembunuhan, balas dendam dan konflik,
korupsi-kulusi-nepotisme, materialisme-hedonisme-sekularisme. Budaya
kenajisan adalah budaya kematian. Krisis moral terjadi di segala bidang
kehidupan manusia," ungkapnya.
Maka itu, ia mengajak untuk mencintai kehidupan dengan cara melawan segala tindakan yang menajiskan.
"Kita tidak melawan
militer tetapi berperang melawan segala tindakan kenajisan yang dibuat
oleh militer. Kita tidak melawan negara tetapi kita melawan segala
tindakan kenajisan yang dibuat oleh negara. Kita tidak melawan para
pengusaha tetapi kita melawan segala tindakan kenajisan yang dibuat para
pengusaha," jelasnya.
"Kita tidak melawan
masyarakat warga tetapi kita melawan segala tindakan kenajisan yang
dibuat masyarakat warga. Hanya dengan ini, kita akan mengalami hidup
yang adil dan damai. Kita dapat mewariskan budaya kehidupan damai dan
sejahtera kepada anak cucu kita," lanjut Uskup Keuskupan Timika yang
pertama ini.
Ia juga menambahkan,
semua komponen harus bersatu dan berperan melawan segala bentuk
kenajisan dan mewartakan pertobatan dengan cara melawan segala bentuk
tindakan najis dalam masyarakat dan gereja. (Abeth Abraham You/MS)
0 komentar:
Posting Komentar