Ketua Sinode Gereja Kemah Injil
(Kingmi) di tanah Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, dalam siaran pers yang dikirim
kepada suarapapua.com, Rabu (24/12/2014),
menegaskan, pimpinan Gereja memiliki sejumlah alasan terkait penolakan orang
nomor satu di Indonesia ini.
Dibawah ini siaran pers lengkap yang
kembali ditulis oleh redaksi media ini;
Beberapa hari lagi Presiden Jokowi
akan bernatalan di Papua. Kedatangan orang nomor satu di Republik ini telah
menimbulkan pro kontra di kalangan jemaat di Tanah Papua. (Baca: Pimpinan Gereja Tolak Rencana Presiden Jokowi Hadiri
Perayaan Natal di Papua).
Oleh karena itu, ijinkan kami pada hari ini, tanggal 24 Desember menyampaikan beberapa hal yang perlu dipahami jemaat Tuhan di Tanah Papua dan pihak lain terkait rencana pemerintah ini; yang kami tuangkan dalam bentuk seruan Gereja berikut.
(1). Dalam siaran pers yang kami,
Forum Kerja Oikumenis Gereja Gereja Papua keluarkan tanggal 10 Desember 2014
lalu, kami menolak Presiden Jokowi bernatalan di Jayapura/ Papua tahun ini.
Barangkali yang lebih tepat ialah: menunda. Banyak pihak menanggapi pernyataan
itu dan telah mengambil berbagai langkah.
Tindakan terakhir ialah: (a)
mencatut nama saya dan memasang dua buah spanduk di Jalan Raya Abepura
(Jembatan Penyeberangan UNCEN Jayapura) dan satu lagi di Taman Mesran di pusat
kota Jayapura; yang saya sebagai Ketua Sinode KINGMI Papua mendukung Jokowi
Bernatalan di Jayapura, Papua.
Sementara di Kabupaten Jayapura,
pihak-pihak tertentu membakar emosi tokoh adat dan tokoh masyarakat, sehingga
ramai-ramai menyatakan dukungannya kepada pemerintah yang berniat mengundang
Jokowi bernatalan di Jayapura.
Karena itu ijinkankami lewat “Seruan
Natal” ini, menjelaskan sejumlah hal yang mendasari sikap kami sebagai Gereja,
mengapa kami menolak (atau barangkali menunda?) rencana Jokowi bernatalan di
Papua tahun ini.
Pertama, karena kami memang sedang
berduka terkait penembakan dan pembunuhan terhadap para siswa pada tanggal 8
Desember 2014. Insiden itu menyakitkan karena terkesan direncanakan sebelumnya.
Sejumlah kejadian sebelum penembakan ini meyakinkan kami akan hal ini, seperti;
(a). 3 orang TNI yang masuk ke
tempat ibadah di Obano Paniai Barat sebelum kami memberi arahan pada awal
Oktober 2014.
(b). Intimidasi dan kehadiran Aparat
yang mengganggu dalam Acara Retreat/Pembinaan Pemuda yang dihadiri ribuan
Pemuda-pemudi di Komopa (distrik Komopa, Kabupaten Paniai) sejak tanggal 24
sampai 27 November 2014;
(c). Intimidasi memaksa umat kami
untuk memberitahu mereka kapan Pdt. Benny Giay akan tiba dan membuka acara
Retreat Pemuda-pemudi dan apa materi yang akan disampaikan dalam Acara Retreat
itu, dll;
(d). Laporan kepada kami (secara
lisan per handphone) bahwa pihak tertentu berusaha mengibarkan bendera Bintang
Kejora di Enarotali, Paniai pada tanggal akhir November 2014 tetapi digagalkan;
dll.
Sebelum Pemerintah menunjuk tim
independen yang menyelidiki insiden ini, kami sebagai Gereja tidak melihat efek
terapi dari seorang Presiden yang bernatalan di Papua; kecuali pihak pelaku
kekerasan ini yang akan mendapat manfaat dari Natal yang dihadiri Presiden ini.
(2). Berdasarkan pengalaman kami
dalam sejarah kunjungan dan natalan para Presiden RI di Papua, kehadiran
Presiden hanya akan menghalangi kami memaknai Perayaan Natal seperti yang kami
yakini.
Karena “bulan perayaan Natal” ini,
menurut kami, bangsa Papua yang selama ini diterjang berbagai bentuk kekerasan
adalah “bulan refleksi”, bulan kami menimbang-nimbang kegagalan, malapetaka yang
telah kami jalani sepanjang tahun ini (yang akan kita tinggalkan dalam beberapa
hari ke depan); di waktu Natal ini, kami duduk membahas “bagian pagar” mana
yang dipakai babi hutan” untuk masuk dan merusak kebun” kami selama setahun
ini; Natal ini saat yang Tuhan berikan untuk kami merenungkan bagaimana kita
sebagai warga Gereja mempertanggungjawabkan iman kami kepada Tuhan sepanjang
tahun ini dalam bulan-bulan yang lewat.
Karena itu kami menolak kehadiran
Presiden dalam bulan suci ini. Karena kehadiran Presiden ini yang dikelola
Panitia Natal dan TNI POLRI dengan dana Rp 20 milyar lebih akan mengganggu kami
di bagian-bagian atau aspek ini.
Kalau Presiden datang, kami di Papua
akan terhalang merenungkan pertanyaan-pertanyaan: apakah kita, umat Tuhan dalam
tahun ini sudah pertanggug-jawabkan iman kita dengan penuh tanggung jawab dalam
dunia penuh hiruk pikuk, dinamika dan kekerasan ini?
Apakah kita sudah mengambil kendali
dalam situasi yang menimpa kita selama setahun yang lewat ini. Bulan Natal ini bulan
di mana kita menyesali kejatuhan kita menjalani kehidupan kita mulai dari awal:
Januari, Februari, Maret sampai Desember, bulan ke dua belas dari tahun ini.
Bulan Natal ini bulan keramat, bulan
suci bulan di mana kami berdialog dengan: diri sendiri, berdialog dengan
sesama; bulan jedah kekerasan, bulan di mana saya sebagai Ketua Sinode maupun
warga Gereja (berdialog dengan Tuhan dan para Ketua Sinode Gereja ini yang
telah dipanggil Tuhan: apakah dalam menjalankan roda Gereja ini, saya sedang di
jalan benar atau tidak, dst.
Bulan Natal ini, bulan di mana
Kristus sendiri datang ke depan pintu rumah, kampung, jemaat, kabupaten dan
Provinsi kita lewat: lagu-lagu natal, lewat refleksi dan kotbah Natal, drama
dan kisah-kisah korban kekerasan di Paniai atau orang Puncak yang mengungsi ke
hutan berhari-hari tanpa makan, tahan dingin, dll.
Apabila bernatalan dengan Presiden,
kami tidak mungkin lakukan hal-hal ini, paling-paling kami akan dijebak untuk
marah, memikirkan program besar Indonesia dan orang lain yang sedang
merencanakan untuk kehancuran Papua seperti:
(a). Pembentukan KODAM Baru;
(b). Penambahan dua Provinsi baru;
(c). Pengiriman lebih banyak
transmigran yang dikawal TNI POLRI.
Kebijakan-kebijakan ini, tidak hanya
merendahkan kami orang Papua sebagai manusia dan warga Negara yang telah
memilih Presiden Jokowi, tetapi juga merendahkan Gubernur kami, Lukas Enembe
yang beberapa waktu terakhir ini menyuarakan kebijakan pembangunan yang
pro-rakyat Papua.
(3). Bulan Natal ini juga bulan
untuk keluarga dan kerabat berkumpul untuk saling memberi penghiburan, saling
menguatkan dalam mengenang semua yang sudah dipanggil Tuhan, untuk semua yang
dibunuh dalam tahun ini; dan semua yang masih duka dan merasa kehilangan.
Bulan ini kami terima dari Tuhan sebagai
karunia-Nya yang terindah untuk kami, orang Papua duduk dan menangisi di
hadapan Tuhan dan membahas persoalan yang digumuli anggota keluarga atau
anggota jemaat dan warga kampung dan tetangga yang telah Tuhan panggil dalam
setahun ini. Apa saja impian yang mereka perjuangkan?
Apa saja kekuatan atau api yang
membuat kuat hadapi persoalan-persoalan pelik di Tanah ini, selama hidupnya?
Bulan ini memberi kita kesempatan untuk ”merefleksi atau mengingat dan menjawab
pertanyaan “bagaimana kita meneruskan perjuangan mereka (yang telah
tewas/meninggal dalam tahun ini) dan hal-hal baik yang membangun (positif) yang
ditinggalkan oleh warga keluarga/kampung dan jemaat dan kerabat kita yang mati
dalam tahun ini; mulai bulan Januari 2014 ini.
Kita mengenang jasa baik dan
sumbangan serta topangan orang yang mati dalam tahun (2014) lewat insiden dan
peristiwa kekerasan berikut:
- Perang suku di Timika (Januari - September 2014 yang cenderung dibiarkan oleh TNI POLRI) sehingga menewaskan 20 orang lebih warga.
- Pembunuhan terhadap Michael Bano, anggota Polres Lani Jaya di Munak, Kabupaten Jayawijaya (pertengahan Juni 2014) yang dipakai pihak tertentu membuang mayatnya di depan Kantor Gereja, lalu menjadikannya sebagai dasar untuk menembaki kantor Klasis Gereja kami, memukuli para Pendeta jemaat kami dan membongkar rumah para Pendeta dan akhirnya membuat umat kami mengungsi ke hutan selama berhari-hari.
- Penculikan dan pembunuhan terhadap Martinus Yohame (ketua KNPB, 20 Agustus 2014) menjelang kunjungan Presiden SBY ke Papua.
- TNI POLRI yang sejak Agustus sampai awal Desember 2014 terlibat menjual senjata dan amunisi ke pihak TPN OPM dan masyarakat luas.
- Operasi keamanan mengejar OPM yang membeli atau merampas amunisi dan senjata dari TNI POLRI di Papua.
- Pembunuhan terhadap para sisiwa SMA di Paniai pada tanggal 8 Desember 2014 (yang kami anggap pengulangan dari anak-anak SMA yang ditembak mati di Waghete atas perintah Kapolres Paniai tahun 2013 lalu;
- Kegiatan TNI POLRI Memantau kegiatan Pemuda/I Gereja Kingmi di Paniai (akhir November 2014).
(4). Baik sebagai warga Papua dan
pimpinan Gereja, saya menolak karena kegiatan seorang Presiden atau petinggi
militer bernatalan di Papua ini sering digunakan untuk mengalihkan atau
membohongi publik.
Sebagaimana yang dilakukan beberapa
Presiden RI dan Petinggi keamanan negara ini yang pernah bernatalan di Tanah
Papua dalam suasana Papua berdarah-darah dan duka seperti tahun 2014 ini,
tetapi sekembalinya Presiden atau petinggi itu, Papua tidak bertambah baik.
Simak petinggi Negara/Presiden yang bernah bernatalan di Papua (mulai dari yang
terakhir).
- Susilo Bambang Yudhoyono (26 Desember 2006)
- Megawati Soekarnoputri (25-26 Desember 2002)
- Abdurachman Wahid/Gus Dur (31 Desember 1999-1 Januari 2000)
- Benny Moerdani
- Feisal Tanjung
Saat bernatalan mereka berpidato,
bertatap muka dengan tokoh pemerintah, menyampaikan janji dan harapan bahwa
Papua akan sejahtera; bahwa Papua akan diberi prioritas.
Tetapi sekembalinya beliau-beliau
tersebut, Papua kembali “bersimbah darah lagi” dan kembali berkubang dalam
lumpur duka.
Ternyata kunjungan pada saat natal
itu, hanya dipakai sebagai wadah untuk mengalihkan perhatian publik dan menipu
publik bahwa Papua akan diperbaiki; diangkat tetapi setelah kembali “situasi
Papua tetap sama seperti keadaan sebelumnya”.
Karena itu penolakan terhadap Jokowi
datang dari berbagai sektor. Tidak hanya dari pimpinan Gereja. (a) Mahasiswa
dengan menggelar demo penolakan Jokowi bernatalan di Papua, dalam suasana duka
seperti sekarang. (b) Kaum Wanita Gereja Katolik dan Gereja KINGMI di Tanah
Papua mengambil langkah serupa dan tidak akan mengikuti ibadah natal yang
dihadiri Presiden Jokowi.
(5). Kunjungan Natal dan Kooptasi dan
Tuntutan Dialog rakyat Papua; Penolakan terhadap kedatangan Jokowi ke Papua
untuk bernatalan juga kami lakukan karena menurut bocoran dokumen yang beredar
di Jayapura; beberapa hari lalu ialah: kegiatan dialog masyarakat Nusantara
yang sedang direncanakan di Wamena pada tanggal 26 Desember; dengan
menghadirkan wakil-wakil dari berbagai Masyarakat Adat, Suku dan Gereja. Dialog
ini kami menduga upaya Jokowi untuk mengkooptasi (menodai) tuntutan dialog yang
disuarakan berbagai kalangan untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai.
(6). Seruan kepada umat; Kita
sebagai warga Papua yang beriman dalam ziarah kerohanian kita ada dalam suasana
dan posisi sebagaimana yang telah kita sebutkan tadi sejak tahun 1960an bahkan
sebelumnya.
Kita ditempatkan Tuhan dalam realita
sosial seperti itu. Kita tidak mudah menjadi orang beriman “sebagaimana yang
kita bayangkan” dalam kondisi seperti itu.
Apalagi keadaan ini telah menjebak
dan menyandera kita; sampai-sampai kita tidak bisa bernafas; kita seperti sudah
tidak punya energi lagi. Tetapi, apa boleh buat. Mau atau tidak kita dipanggil
Tuhan untuk mempertanggung-jawabkan iman kita dalam dunia seperti itu dengan
beberapa cara berikut.
(a). Saya serukan untuk kita semua
(tidak ada yang terkecuali) menerima utusan dan panggilan Tuhan bahwa kita
sedang di tempatkan Tuhan dalam dunia demikian untuk bercahaya di tengah dunia
yang bengkok ini (Pilipi 2:15). Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi surat
Kristus dalam dunia seperti itu. Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi orang beriman;
tetapi iman tersebut harus dipertanggungjawabkan, dengan menyebar benih kasih
cinta, bermaaf-maafan dalam keluarga, antar kampung, antar suku dalam bulan
Natal ini.
(b). Barangkali ada yang bertanya
“bagaimana kita mempertanggung-jawabkan iman dalam suasana di atas”? Renungkan
dan laksanakan apa yang sudah kita sebutkan di atas dalam butir 1 dan 2 dari
seruan ini.
(c). Beri perhatian khusus kepada
anak-anak. Ambil waktu dengan anak-anak dan keluarga dalam bulan Natal ini;
untuk berdamai dengan anak-anak dan istri, bahas bagaimana keluarga kita bisa
menjadi pembawa damai; dengan menyekolahkan anak-anak menjadi pemimpin masa
depan, menjadi ekonom, ahli hukum, ahli fisika, kimia, teolog, dll sambil
masing-masing keluarga bekerja keras (Amsal 6: 6 dst) supaya bisa membiayai
pendidikan anak-anak supaya anak-anak itu pada jamannya bisa menjadi membawa
damai di Tanah Papua; sebuah PR besar dari Tuhan yang pemerintah Indonesia
gagal mengerjakannya dalam generasi kita.
Demikian seruan kami. Selamat merayakan
Hari Natal dan Tahun Baru; selamat mengambil langkah mempertanggung-jawabkan
imanmu dalam dunia penuh kekerasan di Tanah ini; yang dikelola dengan baik para
pihak; setelah Timor Leste dan Aceh
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. Semoga Allah Bangsa Papua barat bersama dengan kita semuanya dalam aktivitas. KOYAO.
Jayapura, 24 Desember 2014
Ketua
Sinode Kingmi di Tanah Papua
Pdt. Benny Giay
0 komentar:
Posting Komentar