728x90 AdSpace

Latest News

Sabtu, 27 Desember 2014

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com ---Sebelumnya, sejumlah pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumenis Gereja-Gereja Papua, dalam seruan moralnya, dengan tegas menolak kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27 Desember 2014 mendatang.










Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di tanah Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, dalam siaran pers yang dikirim kepada suarapapua.com, Rabu (24/12/2014), menegaskan, pimpinan Gereja memiliki sejumlah alasan terkait penolakan orang nomor satu di Indonesia ini.

Dibawah ini siaran pers lengkap yang kembali ditulis oleh redaksi media ini;

Beberapa hari lagi Presiden Jokowi akan bernatalan di Papua. Kedatangan orang nomor satu di Republik ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan jemaat di Tanah Papua. (Baca: Pimpinan Gereja Tolak Rencana Presiden Jokowi Hadiri Perayaan Natal di Papua). 

Oleh karena itu, ijinkan kami pada hari ini, tanggal 24 Desember menyampaikan beberapa hal yang perlu dipahami jemaat Tuhan di Tanah Papua dan pihak lain terkait rencana pemerintah ini; yang kami tuangkan dalam bentuk seruan Gereja berikut.

(1). Dalam siaran pers yang kami, Forum Kerja Oikumenis Gereja Gereja Papua keluarkan tanggal 10 Desember 2014 lalu, kami menolak Presiden Jokowi bernatalan di Jayapura/ Papua tahun ini. Barangkali yang lebih tepat ialah: menunda. Banyak pihak menanggapi pernyataan itu dan telah mengambil berbagai langkah.

Tindakan terakhir ialah: (a) mencatut nama saya dan memasang dua buah spanduk di Jalan Raya Abepura (Jembatan Penyeberangan UNCEN Jayapura) dan satu lagi di Taman Mesran di pusat kota Jayapura; yang saya sebagai Ketua Sinode KINGMI Papua mendukung Jokowi Bernatalan di Jayapura, Papua.

Sementara di Kabupaten Jayapura, pihak-pihak tertentu membakar emosi tokoh adat dan tokoh masyarakat, sehingga ramai-ramai menyatakan dukungannya kepada pemerintah yang berniat mengundang Jokowi bernatalan di Jayapura.

Karena itu ijinkankami lewat “Seruan Natal” ini, menjelaskan sejumlah hal yang mendasari sikap kami sebagai Gereja, mengapa kami menolak (atau barangkali menunda?) rencana Jokowi bernatalan di Papua tahun ini. 
Pertama, karena kami memang sedang berduka terkait penembakan dan pembunuhan terhadap para siswa pada tanggal 8 Desember 2014. Insiden itu menyakitkan karena terkesan direncanakan sebelumnya. Sejumlah kejadian sebelum penembakan ini meyakinkan kami akan hal ini, seperti;
(a). 3 orang TNI yang masuk ke tempat ibadah di Obano Paniai Barat sebelum kami memberi arahan pada awal Oktober 2014.
(b). Intimidasi dan kehadiran Aparat yang mengganggu dalam Acara Retreat/Pembinaan Pemuda yang dihadiri ribuan Pemuda-pemudi di Komopa (distrik Komopa, Kabupaten Paniai) sejak tanggal 24 sampai 27 November 2014;
(c). Intimidasi memaksa umat kami untuk memberitahu mereka kapan Pdt. Benny Giay akan tiba dan membuka acara Retreat Pemuda-pemudi dan apa materi yang akan disampaikan dalam Acara Retreat itu, dll;
(d). Laporan kepada kami (secara lisan per handphone) bahwa pihak tertentu berusaha mengibarkan bendera Bintang Kejora di Enarotali, Paniai pada tanggal akhir November 2014 tetapi digagalkan; dll.
Sebelum Pemerintah menunjuk tim independen yang menyelidiki insiden ini, kami sebagai Gereja tidak melihat efek terapi dari seorang Presiden yang bernatalan di Papua; kecuali pihak pelaku kekerasan ini yang akan mendapat manfaat dari Natal yang dihadiri Presiden ini.
(2). Berdasarkan pengalaman kami dalam sejarah kunjungan dan natalan para Presiden RI di Papua, kehadiran Presiden hanya akan menghalangi kami memaknai Perayaan Natal seperti yang kami yakini.
Karena “bulan perayaan Natal” ini, menurut kami, bangsa Papua yang selama ini diterjang berbagai bentuk kekerasan adalah “bulan refleksi”, bulan kami menimbang-nimbang kegagalan, malapetaka yang telah kami jalani sepanjang tahun ini (yang akan kita tinggalkan dalam beberapa hari ke depan); di waktu Natal ini, kami duduk membahas “bagian pagar” mana yang dipakai babi hutan” untuk masuk dan merusak kebun” kami selama setahun ini; Natal ini saat yang Tuhan berikan untuk kami merenungkan bagaimana kita sebagai warga Gereja mempertanggungjawabkan iman kami kepada Tuhan sepanjang tahun ini dalam bulan-bulan yang lewat.

Karena itu kami menolak kehadiran Presiden dalam bulan suci ini. Karena kehadiran Presiden ini yang dikelola Panitia Natal dan TNI POLRI dengan dana Rp 20 milyar lebih akan mengganggu kami di bagian-bagian atau aspek ini.

Kalau Presiden datang, kami di Papua akan terhalang merenungkan pertanyaan-pertanyaan: apakah kita, umat Tuhan dalam tahun ini sudah pertanggug-jawabkan iman kita dengan penuh tanggung jawab dalam dunia penuh hiruk pikuk, dinamika dan kekerasan ini?

Apakah kita sudah mengambil kendali dalam situasi yang menimpa kita selama setahun yang lewat ini. Bulan Natal ini bulan di mana kita menyesali kejatuhan kita menjalani kehidupan kita mulai dari awal: Januari, Februari, Maret sampai Desember, bulan ke dua belas dari tahun ini.

Bulan Natal ini bulan keramat, bulan suci bulan di mana kami berdialog dengan: diri sendiri, berdialog dengan sesama; bulan jedah kekerasan, bulan di mana saya sebagai Ketua Sinode maupun warga Gereja (berdialog dengan Tuhan dan para Ketua Sinode Gereja ini yang telah dipanggil Tuhan: apakah dalam menjalankan roda Gereja ini, saya sedang di jalan benar atau tidak, dst.

Bulan Natal ini, bulan di mana Kristus sendiri datang ke depan pintu rumah, kampung, jemaat, kabupaten dan Provinsi kita lewat: lagu-lagu natal, lewat refleksi dan kotbah Natal, drama dan kisah-kisah korban kekerasan di Paniai atau orang Puncak yang mengungsi ke hutan berhari-hari tanpa makan, tahan dingin, dll.

Apabila bernatalan dengan Presiden, kami tidak mungkin lakukan hal-hal ini, paling-paling kami akan dijebak untuk marah, memikirkan program besar Indonesia dan orang lain yang sedang merencanakan untuk kehancuran Papua seperti:
(a). Pembentukan KODAM Baru;
(b). Penambahan dua Provinsi baru;
(c). Pengiriman lebih banyak transmigran yang dikawal TNI POLRI.

Kebijakan-kebijakan ini, tidak hanya merendahkan kami orang Papua sebagai manusia dan warga Negara yang telah memilih Presiden Jokowi, tetapi juga merendahkan Gubernur kami, Lukas Enembe yang beberapa waktu terakhir ini menyuarakan kebijakan pembangunan yang pro-rakyat Papua.

(3). Bulan Natal ini juga bulan untuk keluarga dan kerabat berkumpul untuk saling memberi penghiburan, saling menguatkan dalam mengenang semua yang sudah dipanggil Tuhan, untuk semua yang dibunuh dalam tahun ini; dan semua yang masih duka dan merasa kehilangan.

Bulan ini kami terima dari Tuhan sebagai karunia-Nya yang terindah untuk kami, orang Papua duduk dan menangisi di hadapan Tuhan dan membahas persoalan yang digumuli anggota keluarga atau anggota jemaat dan warga kampung dan tetangga yang telah Tuhan panggil dalam setahun ini. Apa saja impian yang mereka perjuangkan?

Apa saja kekuatan atau api yang membuat kuat hadapi persoalan-persoalan pelik di Tanah ini, selama hidupnya? Bulan ini memberi kita kesempatan untuk ”merefleksi atau mengingat dan menjawab pertanyaan “bagaimana kita meneruskan perjuangan mereka (yang telah tewas/meninggal dalam tahun ini) dan hal-hal baik yang membangun (positif) yang ditinggalkan oleh warga keluarga/kampung dan jemaat dan kerabat kita yang mati dalam tahun ini; mulai bulan Januari 2014 ini.

Kita mengenang jasa baik dan sumbangan serta topangan orang yang mati dalam tahun (2014) lewat insiden dan peristiwa kekerasan berikut:
  • Perang suku di Timika (Januari - September 2014 yang cenderung dibiarkan oleh TNI POLRI) sehingga menewaskan 20 orang lebih warga.
  • Pembunuhan terhadap Michael Bano, anggota Polres Lani Jaya di Munak, Kabupaten Jayawijaya (pertengahan Juni 2014) yang dipakai pihak tertentu membuang mayatnya di depan Kantor Gereja, lalu menjadikannya sebagai dasar untuk menembaki kantor Klasis Gereja kami, memukuli para Pendeta jemaat kami dan membongkar rumah para Pendeta dan akhirnya membuat umat kami mengungsi ke hutan selama berhari-hari.
  • Penculikan dan pembunuhan terhadap Martinus Yohame (ketua KNPB, 20 Agustus 2014) menjelang kunjungan Presiden SBY ke Papua.
  • TNI POLRI yang sejak Agustus sampai awal Desember 2014 terlibat menjual senjata dan amunisi ke pihak TPN OPM dan masyarakat luas.
  • Operasi keamanan mengejar OPM yang membeli atau merampas amunisi dan senjata dari TNI POLRI di Papua.
  • Pembunuhan terhadap para sisiwa SMA di Paniai pada tanggal 8 Desember 2014 (yang kami anggap pengulangan dari anak-anak SMA yang ditembak mati di Waghete atas perintah Kapolres Paniai tahun 2013 lalu;
  • Kegiatan TNI POLRI Memantau kegiatan Pemuda/I Gereja Kingmi di Paniai (akhir November 2014).

(4). Baik sebagai warga Papua dan pimpinan Gereja, saya menolak karena kegiatan seorang Presiden atau petinggi militer bernatalan di Papua ini sering digunakan untuk mengalihkan atau membohongi publik.

Sebagaimana yang dilakukan beberapa Presiden RI dan Petinggi keamanan negara ini yang pernah bernatalan di Tanah Papua dalam suasana Papua berdarah-darah dan duka seperti tahun 2014 ini, tetapi sekembalinya Presiden atau petinggi itu, Papua tidak bertambah baik. Simak petinggi Negara/Presiden yang bernah bernatalan di Papua (mulai dari yang terakhir).
  • Susilo Bambang Yudhoyono (26 Desember 2006)
  • Megawati Soekarnoputri (25-26 Desember 2002)
  • Abdurachman Wahid/Gus Dur (31 Desember 1999-1 Januari 2000)
  • Benny Moerdani
  • Feisal Tanjung
Saat bernatalan mereka berpidato, bertatap muka dengan tokoh pemerintah, menyampaikan janji dan harapan bahwa Papua akan sejahtera; bahwa Papua akan diberi prioritas.

Tetapi sekembalinya beliau-beliau tersebut, Papua kembali “bersimbah darah lagi” dan kembali berkubang dalam lumpur duka.

Ternyata kunjungan pada saat natal itu, hanya dipakai sebagai wadah untuk mengalihkan perhatian publik dan menipu publik bahwa Papua akan diperbaiki; diangkat tetapi setelah kembali “situasi Papua tetap sama seperti keadaan sebelumnya”.

Karena itu penolakan terhadap Jokowi datang dari berbagai sektor. Tidak hanya dari pimpinan Gereja. (a) Mahasiswa dengan menggelar demo penolakan Jokowi bernatalan di Papua, dalam suasana duka seperti sekarang. (b) Kaum Wanita Gereja Katolik dan Gereja KINGMI di Tanah Papua mengambil langkah serupa dan tidak akan mengikuti ibadah natal yang dihadiri Presiden Jokowi.

(5). Kunjungan Natal dan Kooptasi dan Tuntutan Dialog rakyat Papua; Penolakan terhadap kedatangan Jokowi ke Papua untuk bernatalan juga kami lakukan karena menurut bocoran dokumen yang beredar di Jayapura; beberapa hari lalu ialah: kegiatan dialog masyarakat Nusantara yang sedang direncanakan di Wamena pada tanggal 26 Desember; dengan menghadirkan wakil-wakil dari berbagai Masyarakat Adat, Suku dan Gereja. Dialog ini kami menduga upaya Jokowi untuk mengkooptasi (menodai) tuntutan dialog yang disuarakan berbagai kalangan untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai.

(6). Seruan kepada umat; Kita sebagai warga Papua yang beriman dalam ziarah kerohanian kita ada dalam suasana dan posisi sebagaimana yang telah kita sebutkan tadi sejak tahun 1960an bahkan sebelumnya.

Kita ditempatkan Tuhan dalam realita sosial seperti itu. Kita tidak mudah menjadi orang beriman “sebagaimana yang kita bayangkan” dalam kondisi seperti itu.

Apalagi keadaan ini telah menjebak dan menyandera kita; sampai-sampai kita tidak bisa bernafas; kita seperti sudah tidak punya energi lagi. Tetapi, apa boleh buat. Mau atau tidak kita dipanggil Tuhan untuk mempertanggung-jawabkan iman kita dalam dunia seperti itu dengan beberapa cara berikut.

(a). Saya serukan untuk kita semua (tidak ada yang terkecuali) menerima utusan dan panggilan Tuhan bahwa kita sedang di tempatkan Tuhan dalam dunia demikian untuk bercahaya di tengah dunia yang bengkok ini (Pilipi 2:15). Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi surat Kristus dalam dunia seperti itu. Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi orang beriman; tetapi iman tersebut harus dipertanggungjawabkan, dengan menyebar benih kasih cinta, bermaaf-maafan dalam keluarga, antar kampung, antar suku dalam bulan Natal ini.

(b). Barangkali ada yang bertanya “bagaimana kita mempertanggung-jawabkan iman dalam suasana di atas”? Renungkan dan laksanakan apa yang sudah kita sebutkan di atas dalam butir 1 dan 2 dari seruan ini.

(c). Beri perhatian khusus kepada anak-anak. Ambil waktu dengan anak-anak dan keluarga dalam bulan Natal ini; untuk berdamai dengan anak-anak dan istri, bahas bagaimana keluarga kita bisa menjadi pembawa damai; dengan menyekolahkan anak-anak menjadi pemimpin masa depan, menjadi ekonom, ahli hukum, ahli fisika, kimia, teolog, dll sambil masing-masing keluarga bekerja keras (Amsal 6: 6 dst) supaya bisa membiayai pendidikan anak-anak supaya anak-anak itu pada jamannya bisa menjadi membawa damai di Tanah Papua; sebuah PR besar dari Tuhan yang pemerintah Indonesia gagal mengerjakannya dalam generasi kita.

Demikian seruan kami. Selamat merayakan Hari Natal dan Tahun Baru; selamat mengambil langkah mempertanggung-jawabkan imanmu dalam dunia penuh kekerasan di Tanah ini; yang dikelola dengan baik para pihak; setelah Timor Leste dan Aceh

Selamat Hari Natal dan Tahun Baru. Semoga Allah Bangsa Papua barat bersama dengan kita semuanya dalam aktivitas.   KOYAO.
                                                                                                             Jayapura, 24 Desember 2014
                                                                                                    Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua


                                                                                                                    Pdt. Benny Giay
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com ---Sebelumnya, sejumlah pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumenis Gereja-Gereja Papua, dalam seruan moralnya, dengan tegas menolak kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27 Desember 2014 mendatang.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Top